..:: SELAMAT DATANG DI BLOG BIOSKOP TRANSPARANT ! Anda dapat Mendownload Film, Membaca Cerita, Belajar by Tutorial, Semoga Menyenangkan ::..

Menu Utama

Sabtu, 22 Januari 2011

Cerita Anak - Sahabat Sejati

"Amanda, Amanda, tunggu aku sebentar".

Sekolah baru saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari mengejarnya dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa Nisa?", tanya Amanda keheranan.

"Begini, aku mau mengembalikan ini", kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas plastik kepada Amanda.

Amanda, melihat isi tas plastik tersebut, lalu bertanya, "Lho, kenapa dikembalikan, kamu tidak suka sepatu ini ya?"

"Tidak, ee..., maksudku, aku suka sepatu itu."

Cerita Anak - Kena Batunya

Teng-teng-teng.

"Horeee...", teriak anak-anak demi mendengar bel tanda sekolah usai yang dipukul oleh Pak Bon yang bertugas di SD Utama Malang.

"Nah, anak-anak, jangan lupa besok kalian harus membawa PR matematika yang telah diberikan kemarin", kata Pak Agung, guru kelas IV di SD tersebut.

"Mereka yang tidak mengerjakannya akan Bapak beri hukuman menyapu lantai".

Cerita Anak - Surat Misterius

Cerita Anak Surat Misterius
“Enak ya cokelatnya? Tapi lebih enak lagi kalau kamu membelinya. Bukan mengambilnya dari Toko Tujuh milik Pak Rahman.”

Dodi semakin terkejut. Ini adalah surat kelima yang ditemuinya di dalam tas sekolahnya. Seperti keempat surat sebelumnya, surat ini berisi perbuatan nakal yang dilakukannya. Tadi siang, dia mengendap-endap masuk toko Pak Rahman dan mencuri sebatang cokelat kesukaannya. Iseng betul sih si penulis surat misterius ini. Misterius? Ya, karena tidak ada nama si penulis di surat tersebut. “Tapi kok dia bisa tahu apa yang kulakukan ya?”, pikir Dodi.

Sakit kanker ato Aids??

Seorang penderita kanker di beritahukan oleh dokternya bahwa hidupnya tidak lama lagi hanya sekitar 2 minggu lagi. Mendengar khabar tak mengenakkan hati, ia memberitahukan anaknya untuk segera mengadakan pesta besar perpisahan.

Ditengah kawan-kawannya ia menyatakan : “Maaf teman-teman, Saya mengumpulkan Kalian agar tahu bahwa Saya tak lama lagi akan meninggalkan Kalian, AIDS telah merongrong tubuh Saya.”

Anaknya dengan heran bertanya : “Ayah, mengapa Ayah berbohong atas penyebab kematian Ayah?”

Ayahnya menjawab : “Sssst, aku tak mau salah seorang dari mereka akan tidur dengan Ibumu yang cantik setelah aku meninggal kelak !”

Kalo Kerja Pake Ini

Di suatu pinggiran kota, hiduplah seorang nyonya yang cukup (sedikit mampu) dengan pembantunya yang selalu buat masalah.

Suatu hari, pembantu itu memecahkan piring untuk kesekian kalinya... akhirnya nyonya itu memanggil pembantunya sambil memaki berkata," Minah....kamu ini gimana...dasar org goblok, makanya kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk lututnya) tapi pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red)...kamu saya pecat.."akhirnya pembantunya pergi...

5 tahun kemudian, di suatu Supermarket..si Nyonya ketemu dengan pembantunya yang dulu tapi dengan pakaian yang mewah dengan banyak perhiasan emas...

Si-nyonya memanggil," Minah, kok kamu sekarang berubah..menjadi kaya...kok bisa????
Si-pembantunya menjawab," makanya Bu, kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red) tapi pake ini donk (sambil nunjuk dii antara pahanya)...."?#$#@"

Cerita Lucu - Salah Nurunin Resleting

Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya.

Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar.

Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus.

Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini.

“Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang!”

Si pemuda menjawab kalem, “Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.”

Kamis, 20 Januari 2011

Cerpen Bobo: Pengamen Bindeng

“Lihat nih aku dapat uang banyak!” kata Udin beberapa saat setelah turun dari bus kota. Rupanya ia baru saja mengamen. Uang receh dan uang kertas di dalam bekas bungkus permen di genggamannya terlihat penuh. Wajah anak itu berbinar senang.

“Wah, pasti kamu nyanyinya bagus banget sehingga penumpang kasih kamu uang banyak!” kata Genta, tukang semir sepatu , teman Udin.

Mereka selalu berkumpul di perempatan jalan dekat terminal untuk beristirahat. Genta sehari harinya adalah penyemir sepatu di warung warung sekitar terminal. Sedangkan Udin , Bambang dan Leman mengamen sendiri sendiri..

“Begitulah!” kata Udin gembira sambil menghitung uangnya. Genta terlihat senang juga melihat hasil yang didapat Udin, Ibu Udin saat ini sedang sakit, ia perlu uang banyak untuk berobat karena itu sudah seminggu ini Udin mulai ikut mengamen di dalam Bus.

“Padahal kamu ngamen nggak pakai alat musik ya,Din?” cetus Leman heran, “Terus kamu nyanyi Cuma pakai tepuk tepuk tangan saja ya?”

Leman sendiri mengamen dengan menggunakan gitar kecil pemberian mendiang kakeknya. Suara Leman bagus sekali dan ia sangat mahir memainkan gitar kecil itu. Tetapi uang yang didapatnya tidak pernah sebanyak yang didapat Udin setiap hari.

Mereka berempat adalah teman satu sekolah dan rumah mereka berdekatan, ketika mereka tahu Ibu Udin sakit, mereka menganjurkan Udin untuk ikut mengamen atau jadi penyemir sepatu di terminal.Udin menerima ajakan teman temannya.

“Tuh Bambang datang,kok dia lesu amat…” tunjuk Genta pada temannya yang terlihat baru turun dari Bus.

“Lesu,Bang?”

“Yaah, mungkin karena suaraku tidak bagus yaa jadi nggak banyak yang kasih aku uang, lagian katanya Bang Poltak kondektur PPD ada pengamen yang suaranya bindeng yang ngamen sebelum aku, penumpang semua kasihan sama dia…”

Genta dan teman temannya berpandangan,”Pengamen Bindeng??”

Bambang mengangguk, “Sebetulnya sih bukan ngamen, suaranya aja hampir nggak ada katanya…jadi orang kasihan sama dia…”

“Yang mana ya orangnya? Aku kok nggak pernah lihat? Kalian pernah lihat?” tanya Udin. Genta dan Leman menggeleng. Tetapi memang begitu banyak pengamen di terminal ini, tidak semua yang mereka kenal.

Genta berlari lari menyetop Bus Mayasaribakti yang merapat di halte. Ia mau ke daerah Tebet, ke rumah Pakdhe Santoso yang mau hajatan sunat Rio,sepupunya. Ia diminta datang menginap.
Ia duduk di kursi belakang, terhimpit himpit oleh penuhnya penumpang. Genta sudah terbiasa turun naik Bus kalau kemana mana. Meskipun baru berusia sepuluh tahun tapi ia tidak pernah takut pergi sendirian.

Di halte berikutnya Bus terasa merapat. Genta tidak bisa melihat keluar karena terhalang penumpang penumpang dewasa yang berdiri.

Dari arah depan Bus kemudian terdengar suara suara yang aneh. Suara bindeng , seperti orang bisu yang berusaha mengeluarkan suara. Antara sengau dan bindeng. Genta berusaha melongok kearah suara itu tapi tak bisa.

“Kasihan ya, bindeng begitu masih berusaha ngamen…” kata seorang Bapak yang berdiri dekat Genta.

“Ooh pengamen ya Pak…” ujar Genta mengangguk ngangguk. Mungkin pengamen ini yang kemarin diceritakan Bambang. Dilihatnya seusai pengamen itu menyanyikan lagu yang tidak jelas bunyinya, orang orang kelihatan mengeluarkan uang receh mereka untuk siap siap diberikannya pada pengamen bindeng itu.

Pengamen itu terdengar menggoyangkan kantong uangnya yang sudah berisi uang receh. Genta juga sudah menyiapkan uang logam seratus rupiah untuk diberikan pada pengamen itu.

“Te..i..ma.a..iih” terdengar suara pemngamen itu berusaha mengucapkan terimakasih pada penumpang yang memberinya uang.

Ketika pengamen itu menyeruak diantara rapatnya penumpang di belakang, Genta kaget bukan main. Pengamen itu juga terlihat sangat terkejut melihatnya.

“Udin…?” desis Genta terpana.

Udin yang mengenakan topi lusuh dan baju yang sebagian sudah robek langsung bergegas menembus penumpang lalu melompat turun dari pintu belakang ketika Bus merapat ke halte berikutnya.

Genta juga begegas turun di halte tersebut.

“Din!!!” ia berlari mengejar Udin yang berusaha menghindarinya di halte.

Ketika langkahnya sudah menjajari Udin, Genta menarik lengan temannya ke pinggir dimana tidak begitu banyak orang disana.

Udin menunduk malu.

“Jadi begitu cara kamu ngamen,Din?”tanya Genta”Pantas orang banyak kasih kamu uang…”

Udin mengangguk, “Iya Gen,…soalnya aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik juga,jadi aku berpura pura jadi pengamen bindeng saja…”

“Tapi itu namanya menipu,Din…” ujar Genta prihatin menyadari apa yang telah dilakukan Udin,
“Dan itu dosa. Kalau kamu nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik, kamu kan bisa nyemir kayak aku….asal Halal…”

“Tapi aku perlu banyak uang untuk Ibu!” kata Udin sengit.

“Tapi kan bisa bisa dicari dengan cara yang Halal,Din…Allah Maha Mengetahui kok. Kalau kamu sudah berusaha sebaik baiknya, dengan cara yang di ridhoi Allah, Allah pasti akan kasih kamu jalan…itu yang dibilang Ustad Adam, inget nggak?” tukas Genta, “Kalau dengan cara menipu orang seperti ini, Allah malah marah Din…”

Udin terdiam. Sebetulnya jauh di dalam hatinya ia juga tak ingin melakukan ini. Tetapi setiap kali teringat wajah pucat Ibunya, ia jadi tidak perduli dengan jalan yang ditempuhnya.

“Sudah lah,Din…aku juga nggak mau memaksa kamu kok…Yang penting aku sudah ngingetin kamu…bahwa yang kamu tempuh ini salah…Sudah ya, aku mau melanjutkan perjalanan ke rumah Pakde ku….”kata Genta sambil bergegas meninggalkan Udin yang masih menunduk.

“Gen!!” panggil Udin ketika Genta sudah agak menjauh, “jangan bilang bilang teman teman yang lain ya…aku malu…Mulai besok aku boleh ikut nyemir bareng kamu?”

Genta mengangguk pasti, “Tentu Din! Kau masih punya kotak semir cadangan di rumah, kamu bisa pakai dulu…”

Seminggu kemudian ketika Genta dan teman temannya sedang beristirahat di perempatan jalan seperti biasa, Genta mendengar Bambang bicara pada Leman.

“Heran, kata Bang Poltak, pengamen bindeng itu seminggu ini sudah nggak kelihatan ngamen lho, Man..”

Udin memandang Genta dengan pandangan berterimakasih karena Genta tidak menceritakan apa yang diketahuinya pada teman temannya.

Untuk kalian yang ingin membaca lebih banyak lagi cerita atau cerpen bobo, kalian bisa membaca kumpulan cerita bobo online di kidnesia.com.

Cerpen Bobo: Teman Setia

Hari ini aku kesal pada Rubi. Ia berulangkali marah dan menotok notok kepalaku ke meja. Padahal yang membuatnya marah bukan kesalahanku.

Rubi kesal karena semenjak setengah jam yang lalu ia hanya bisa mengerjakan dua soal saja dari sepuluh soal Matematika yang diberikan Pak Guru.

Sementara teman teman yang lain sudah mengerjakan sedikitnya enam soal.

“Makanya belajar ,Bi!” kataku sebal. Rubi melotot ke arahku dan menggusal gusalkan lagi kepalaku ke meja.

“Kasar banget sih!” seruku.

“Rasain!” hardik Rubi.

“Rubi!!” seru Pak Guru, “Kenapa sejak tadi tidak bisa tenang?” Rubi menunduk.

“Rasain!” balasku. Ribu menyurengkan matanya menatap kepalaku.

Ia mulai menulis beberapa rumus di kertas dan mencoba memecahkannya. Sayangnya, ia tetap saja tidak bisa.

“Apa kata mama,Rub…makanya jangan terlalu sering keluar main Bola!” kataku menasehati, ”Kamu membiarkanku menunggumu di rumah menemanimu belajar, tapi kamu malahan enak enakan main bola!!”

“Coba kalau kamu sadar kalau hari ini ujian, kan kemarin seharusnya kamu belajar bersamaku!” keluhku lagi.

“Padahal semalam aku kan belajar!” jawab Rubi.

“Iya, kamu belajar Cuma sebentar, karena kecapean bermain Bola!” sergahku.

“Sekarang giliran kamu nggak bisa mengerjakan soal, kamu marah marah ke semua, termasuk padaku!”

“Harusnya kamu bisa membagi waktu antara waktu bermain dan belajar..” kataku lagi menasehati Rubi.

“Aduuh,gawat nih kalau jelek ulangan, Mama Papa pasti marah” keluh Rubi.

“Udah deh, pasrah aja…memang salah kamu kok!Eeeh jangan coba coba nyontek pada Beni!!” teriakku ketika Rubi mencuri curi lihat pekerjaan Beni.

Rubi mencibir ketika Beni menutupi kertas ulangannya.

“Bagus,Ben!” seruku senang.

“Ini pelajaran buat kamu Bi,…lebih baik kamu banyak banyak bermain denganku. Lebih banyak manfaatnya!” kataku.

Bel berbunyi. Semua bergegas mengumpulkan kertas ulangan pada Pak guru.

Rubi meninggalkanku sambil berjalan loyo ke meja Pak guru.

Beberapa menit kemudian ia kembali ke tempat duduk. Kelihatannya Rubi menyesal tidak belajar dengan benar semalam, padahal soal soal yang diberikan Pak guru semuanya mirip dengan yang di buku. Cuma angkanya saja yang berbeda.

“Nggak bisa ya tadi,Bi?” Tanya Beni kepadanya.

Rubi menggeleng.

“Tenang Bi, kita akan harus banyak belajar bareng..oke?” kataku .

Rubi menatapku lalu memasukan ku ke dalam kotak pensilnya. Aku berjanji akan setia menemaninya belajar, karena aku adalah pensil kesayangan Rubi.

Untuk kalian yang ingin membaca lebih banyak lagi cerita atau cerpen bobo, kalian bisa membaca kumpulan cerita bobo online di kidnesia.com.

Cerpen Bobo: Buku Harian Firli

Firli terkadang iri pada Sofi dan Anto , teman sekelasnya. Mereka berdua punya kepandaian yang mengagumkan.

Sofi pintar sekali bermain piano, selain sekolah, ia juga belajar piano pada Sekolah Musik terkenal. Waktu Firli main ke rumahnya, ada beberapa piala berderet di ruang tamunya. Piala piala Sofi ketika mengikuti berbagai kontes piano. Kalau ada acara acara Musik di sekolah pasti Sofi tampil memainkan lagu lagu klasik dan pop yang membuahkan tepuk tangan para orangtua murid yang hadir….

Anto lain lagi, ia jago melukis. Beberapa kali ia mewakili sekolah pada lomba lukis tingkat sekolah dasar sampai tingkat Nasional. Hampir di semua lomba ia menyabet gelar juara.

Ah, seandainya aku punya kepintaran seperti dia, pasti bangga deh. Mama Papa juga pasti bangga sekali. Ia membayangkan menikmati tepukan tangan penontonnya seusai memainkan sebuah lagu yang indah dengan alunan piano.

Sayangnya Firli merasa tidak punya kelebihan atau bakat apa apa yang bisa menonjol seperti mereka. Baca Not Balok saja ia nggak bisa. Melukis? Aduuh, Daffa adiknya yang hobi menggambar sering mencela gambarnya seperti gambar anak TK. Padahal untuk membuat gambar itu Firli sudah kerja keras.

Malam Didie…

Aku berkhayal menjadi seorang pianist terkenal, minimal terkenal di sekolah seperti Sofi. Di hadapan tuts tuts piano . Dari tarian tanganku di atas bilah hitam putih itu mengalir lagu lagu yang sangat indah. Membelai telinga dan hati yang menontonku.
Penelitian telah membuktikan bahwa musik bisa mempengaruhi suasana hati kita. Dengan musik yang kumainkan, orang yang sedih bisa mendapat keceriaan, atau bahwa tambah bersedih.

Diary,..kubayangkan tanganku menari,berlari dan meloncat di atas tuts piano….

…dan seterusnya. Setiap hari Firli menuangkan perasaannya dalam buku harian merah muda yang diberinya nama Didie. Ia begitu karena setiap kali bicara pada Mama dan Papa pasti jawabannya sama.

“Setiap orang kan di beri Allah kelebihan dalam dirinya. Namanya Bakat. Sofi dan temanmu Anto itu sudah terlihat bakatnya pada Musik dan Melukis…jadi jangan berkecil hati,Nak….suatu saat Firli pasti akan mengetahui kemana Bakat Firli. Bakat bisa membuat orang berprestasi kalau ada kemauan juga…”

Jawaban Papa juga setali tiga uang dengan Mama.

Melukis pegunungan di hadapanku dan menuangkannya ke atas kanvas. Memainkan warna hijau yang meneduhkan pada sawah sawah di kaki gunung. Serta Matahari yang menyembulkan kepalanya diantara lekukan gunung. Masih malas karena ia baru saja keluar dari peraduan….

Tulisnya lagi di malam yang lain tentang betapa inginnya ia bisa seperti Anto yang bisa menghasilkan lukisan indah dari tangannya….

Tante Rima datang di akhir minggu dan menginap semalam. Firli senang bukan kepalang. Tante Rima itu baik sekali. Ia suka menceritakan kejadian kejadian lucu saat peluncuran buku karangannya. Tante Rima adalah seorang penulis. Beberapa bukunya sudah beredar di toko toko buku.

“Tante tidur sama aku ya!!” bujuk Firli semangat.

“Beres,Non!”

Malamnya Tante Rima tidur di kamar Firli. Firli bercerita tentang sekolahnya, teman temannya dan juga keinginan keinginanya bisa seperti Sofi dan Anto.
Ketika Firli terlelap ia menyelimuti keponakaannya itu dengan selimut pink kesayangan Firli.

Tanpa sengaja Tante Rima menemukan buku harian Firli di bawah bantal. Pelan pelan dibacanya buku harian itu. Kadang ia tersenyum, kadang ia terlihat serius bahkan sedih. Kata kata yang tertuang di buku harian itu tidak seperti kata kata yang ditulis oleh anak perempuan berusia 9 tahun. Begitu manis, indah dan menyentuh.

“Ah sayang….siapa bilang kamu tidak punya bakat?” Tante Rima menghela nafas sambil membelai Firli yang terlelap. Ia menutup buku harian itu dan berjalan keluar kamar menemui Mama dan Papa.

“Tante lihat Buku harianku?” Tanya Firli pada Tante Rima yang sedang sarapan bersama Mama dan Papa.

“Ada tuh sama Tantemu..”jawab Papa sambil senyum senyum.

Firli duduk di sebelah Tante Rima dan menatapnya, “Huuuh! Tante baca ya?”

“Waah, semalam tante ketemu buku yang isinya indaah sekali…..karangan anak berusia 9 tahun!!”” kata Tante Rima ikut ikutan senyum senyum sambil mengerling nakal pada keponakannya,”kata katanya indah…daya imajinasinya bagus….eh tau nggak sayang, ternyata kamu itu bakat lho menulis…!”

Firli mengerutkan dahinya bingung,”Setiap hari juga aku menulis!”

“Bukan menulis biasa,….Tante lihat Firli mampu menghasilkan rangkaian kata kata yang bisa bikin pembaca terbawa. Begitu indah dan teratur. Itu bagus! Tante yakin, kalau kamu ikut lomba mengarang pasti kamu menang!”

“Kata Mama juga apa kan Fir…. Setiap orang kan di beri Allah kelebihan dalam dirinya.Bakat adalah sebuah kelebihan. Sepertinya bakatmu adalah menulis. Dengan bakat seperti ini kamu bisa jadi pengarang , bisa ikut lomba lomba mengarang. Sama seperti Sofi dan Anto. Kamu juga bisa berprestasi seperti mereka, dengan bakat yang ada padamu….” Kata Mama lembut.

“Oya??! Betul Tante? Aku bisa jadi pengarang kayak Tante?”

Tante Rima mengangguk, “Tentu! Dan tante yakin!…Oya bulan depan ada lomba mengarang yang diselenggarakan penerbit buku buku tante. Kamu ikut ya..?”

Firli merasa terbang melayang. Khayalannya membumbung tinggi. Hatinya sangat gembira. Terimakasih Allah! Doaku telah Kau Jawab!

Kata kata indah mengalir dari goresan penaku di kertas. Mengalir indah seperti aliran sungai. Musik dapat memanjakan telinga. Tulisanku memanjakan mata tapi juga hati yang membaca…..Anugrah Allah Swt yang begitu indah…
(Buat Firlita…..)

Untuk kalian yang ingin membaca lebih banyak lagi cerita atau cerpen bobo, kalian bisa membaca kumpulan cerita bobo online di kidnesia.com.

Cerpen Bobo: Nenek Jingga

Nenek Jingga adalah tetangga baru yang menempati rumah di depan rumah Asti. Wajahnya sudah sangat keriput, dengan mata yang menyeramkan seperti nenek sihir di film film horor.
Asti sering bergidik melihatnya. Setiap kali bertemu di depan rumah Asti langsung berlari kencang menghindar.

“Aku takut Bun!” keluhnya pada Bunda yang menegur sikapnya, “Nenek itu seram sekali wajahnya..”

“Bukan seram,Asti..itu karena nenek sudah tua jadi wajahnya berkerut!”kata Bunda

Tapi tetap saja Asti takut berdekatan dengan Nenek Jingga. Kadang Nenek Jingga memanggilnya masuk ketika Asti melongok longok dipagar berharap menemukan keanehan dirumah Nenek itu.Ketika Nenek Jingga keluar, Asti lari masuk ke dalam.

Malamnya ia suka bermimpi Nenek Jingga datang dengan giginya yang runcing dan topi kerucut ala nenek sihir.Asti menjerit terbangun.

“Kenapa Asti?? Mimpi buruk?” Tanya Ayah yang ikut terkejut.

“Asti mimpi Nenek Jingga datang Yah…” sungutnya. Bunda dan Ayah tertawa mendengarnya.
“Ih sudah kelas tiga kok masih penakut. Nenek Jingga kan baik, di sering kirim kue Sus kesukaanmu tuh!”

Asti bergidik. Di dalam pikirannya sekarang Nenek Jingga sedang membersihkan sapu terbangnya untuk kemudian berkeliling menculik anak anak perempuan seusianya.Hiiiihhh!!…
Pulang sekolah Asti menemukan rumahnya dalam keadaan kosong dan terkunci. Kemana bunda?

“Cucu,…” sapaan serak itu mengejutkan Asti. Nenek Jingga sudah berdiri di belakangnya, menyeringai dengan mata menyipit.

“Bundamu tapi titip pesan supaya kamu kerumah Nenek dulu karena Bunda harus ke rumah sakit, Bude mu sakit keras…”Nenek Jingga mengulurkan tangannya mengajak Asti ke rumahnya.

Duuuh! Bunda kenapa nitipin aku ke Nenek sihir sih!! Gerutunya. Bulu kuduknya berdiri.

Sementara hari mendung dan sebentar lagi kelihatannya akan turun hujan lebat.

Asti menurut, mau tidak mau. Ia memberanikan diri mengikuti Nenek Jingga.

Asti duduk di teras, dan benar saja…hujan mulai turun disertai petir. Asti melongok longokkan kepalanya ke sekitar. Takut menemukan sapu terbang milik Nenek Jingga.

Plarrr!!! Tiba-tiba suara halilintar terdengar menyambar. Asti menjerit naik ke atas kursi dan berjongkok menekap tubuhnya.

Nenek Jingga terkekeh melihat kelakuannya. Ia keluar menyuguhkan Kue Sus dan teh hangat.
“Takut ya…?” katanya masih terkekeh,”Ayo minum teh ini supaya tubuhmu hangat,Cu…dan ini kue sus buatan Nenek, kata Bundamu kamu sangat suka….”

Asti mendekat perlahan. Perutnya memang sedikit lapar karena belum makan siang.

“Suara halilintar itu keras sekali…”gumamnya.

Nenek Jingga terkekeh lagi, kulitnya yang keriput makin terlihat berkerut kerut.

“Cucu tau apa penyebab Halilintar?”

Karena sihirmu,…Abrakadabraaaaa!!! Asti masih berkhayal sebelum mengeleng ragu.

“Halilintar itu adalah percikan listrik.Penyebabnya adalah loncatan listrik yang amat besar dari awan ke awan ,dan juga dari awan ke bumi….”terang Nenek Jingga.

Asti mendengarkannya seksama.

“Nanti kalau kamu sudah sekolah menengah kamu akan belajar adanya kutub negatif dan kutub positif. Nah , Halilintar itu terjadi karena perbedaan kutub yang besar antara awan ke awan atau awan ke bumi, karena perbedaan yang terlalu besar itu maka terjadi lah pelepasan listrik dan menimbulkan cahaya raksasa..”

Asti memandang Nenek Jingga takjub. Ternyata nenek sihir ini sangat pintar. Sedikit demi sedikit Asti berani bertanya pada Nenek Jingga apa yang ingin di ketahuinya.

“Itu yang dinamakan petir?”

Nenek mengangguk,”karena petir berbahaya, makan hampir setiap bangunan tinggi punya penangkal petir di atapnya.Bentuknya seperti logam yang di letakkan di atas gedung…”

Nenek menuangkan teh lagi pada gelas Asti yang tandas.

Di luar masih terlihat petir menyambar dan hujan yang cukup lebat.

“Hebat ya yang punya ide membuat penangkal petir itu…” gumam Asti.

“Iya. Dia adalah seorang ilmuwan bernama Benjamin Franklin….”

Asti jadi benar benar tertarik dengan cerita Nenek Jingga,”Nenek kok banyak tahu sih….”

Nenek Jingga terkekeh lagi,” Nenek dulu adalah Guru Sekolah Dasar….dan Nenek senang membaca!”

Asti tercengang. “Guru?”

“Iya, tapi Nenek sudah lama pensiun…sekarang Nenek sering mengisi waktu untuk mendongeng dan bercerita tentang Ilmu pengetahuan di sekolah sekolah…” terang Nenek Jingga.

Perlahan ketakutan Asti berubah menjadi kekaguman. Di usia Nenek Jingga yang setua ini, beliau masih kuat mengerjakan semua sendiri dan bahkan masih kuat berkeliling sekolah sekolah untuk bercerita.

Semenjak saat itu Asti jadi sering bertandang ke rumah Nenek Jingga. Ternyata dari Nenek yang dulu ditakutinya ini Asti bisa banyak menimba ilmu.

Untuk kalian yang ingin membaca lebih banyak lagi cerita atau cerpen bobo, kalian bisa membaca kumpulan cerita bobo online di kidnesia.com.

Cerpen Bobo: TELEDOR

Semua siswa terdiam menatap wajah Eliya yang kusut.Kedua matanya basah. Badannya yang gemuk terguncang-guncang menahan tangis.BuWati dan Pak Burham yang berdiri di sampingnya berusaha menenangkannya. Namun Eliya masih terus menangis.

“Anak-anak, mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa Eliya ?” tanya Pak Burham tenang. “ Dia menangis karena uang sekolahnya hilang !” lanjut Pak Burham.

“Uang sekolah Eliya hilang ?” teriak seisi kelas hampir bersama-sama. Seketika kelas pun menjadi gaduh.

“Sudahlah! Kalian diam dulu!” potong Pak Burham. “Sekarang Bapak minta kalian bersikap jujur. Apabila diantara kalian ada yang mengambil uang Eliya tolong dikembalikan.”

Semua siswa pun diam lagi seperti patung.

“Kalian jangan takut. Apabila kalian mengaku,Bu Wati dan Bapak Burhan akan merahasiakan nama kalian,” janji Bu Wati.

“Tetapi bila tidak ada yang mengaku terpaksa Bapak akan mendatangkan paranormal ke kelas ini,” lanjut Pak Burhan.

“Paranormal?” teriak seisi kelas bersamaan. Dan kelas pun kembali ramai.

“Kalian tidak usah takut!” seru Pak Burham. “Yang akan Bapak bawa ke kelas ini bukan orangnya tetapi manteranya yang sudah dirapalkan ke dalam air putih.”

“Oh begitu…!” guman para siswa lega.

“Dalam satu jam nanti kalian akan diajak bicara satu persatu oleh Bu Wati. Kalau tidak ada yang mengaku terpaksa Bapak menggunakan cara yang kedua.” ancam Pak Burham

* * *

Cara pertama ternyata tidak membawa hasil. Para siswa semakin gelisah.

“Menurut kamu siapa, Mir ?” pancing Ratih.

“Siapa ,ya?” pikir Mira.

“Biasanya di saat-saat seperti ini bakat detektifmu muncul,” gurau Ratih.

“Aku mencurigai seseorang, Rat !Tetapi aku tidak percaya kalau dia yang melakukan!”

“Menduga-duga kan boleh?Ayo , menurutmu siapa?” desak Ratih.

“Aku mencurigai Kristian tetapi aku tidak percaya kalau dia pelakunya!” bisik Mira

Ratih manggut-manggut,”Ternyata kita sepaham. Aku juga mencurigai Kristian!”

“Alasanmu apa ?” tanya Mira heran.

“Alasanku?Dia anak baru. Baru satu bulan dia duduk di kelas ini. Sebelum dia masuk kejadian seperti ini tidak pernah ada!” papar Ratih penuh semangat.”Dan setiap istirahat dia tidak mau keluar kelas! Tidak mau jajan. Di kelas hanya baca komik saja!”

“Tetapi itu bukan alasan untuk menuduh dia. Dia tidak mau jajan karena membawa bekal dari rumah. Dia pernah bercerita kepadaku katanya makanan di kantin ini kurang sehat. Dan dia membaca komik untuk refreshing karena dia memang hobi baca komik.” bela Mira

“ Saya tahu, tetapi bisa saja semua itu hanya kedok untuk menutupi kejahatannya!”

“Lalu untuk apa dia mengambil uang Eliya ? Dia anak orang kaya lho,Rat!” ujar Mira.

“Kalau masalah itu saya tidak tahu!” jawab Ratih sambil mengangkat bahunya.”Kalau alasanmu mencurigai Kristian apa?” gantian Ratih yang bertanya.

“ Alasanku?” jawab Mira bingung.

“Ya! Alasanmu mencurigai Kristian apa?” desak Ratih.

“Sama dengan alasanmu!” jawab Mira sambil nyengir.

“Payah kamu! Tidak ilmiah sama sekali!” gerutu Ratih kecewa.

“Sssstttttttt diam…!” perintah ketua kelas ketika mendengar langkah sepatu Pak Burham.

“Ternyata tidak ada yang mengaku. Lihatlah! Gelas ini sudah penuh dengan air yang bermantera. Mantera ini hanya akan bereaksi pada mulut orang yang berbohong. Kalau kalian jujur mantera ini tidak akan bereaksi dan tidak mempunyai efek samping,” papar Beliau serius.

“Pak Burham tidak usah melakukan itu. Sayalah yang mengambil uang Eliya!”

Seketika kelas menjadi gaduh. Seluruh mata menatap Kristian tidak percaya. Bu Wati dan Pak Burham tercengang. Tangis Eliya terhenti.

“Benarkan Mir, dugaanku!” bisik Ratih penuh kemenangan.

“Kristian ! kamu kok tega sama aku !” jerit Eliya.

“Sudahlah!Kalian tenang!” perintah Pak Burham.”Jadi kamu pelakunya,Kris ?”

“Maaf Pak Burham! Maaf Bu Wati! Maaf teman-teman! Sebenarnya bukan hanya uang Eliya saja yang saya ambil!” jawab Kristian tenang. “Lihat !Mobil Tamiya ini milik siapa?,” tanya Kristian sambil mengeluarkan mobil-mobilan kecil dari tasnya.

“Itu milikku!” seru Didin, “Ternyata kamu pencurinya!” teriak didin garang.

“Jangan menuduh, Din! Mobil ini aku temukan di laci mejamu, hari Kamis tanggal satu kemarin . Lihat di sini kutulis datanya! Dan anehnya kamu tidak pernah merasa kehilangan, kamu tidak pernah lapor Bu Wati atau Pak Burham karena kamu mampu membeli lagi,”

Wajah Didin tersipu malu “Maaf Pak! Saya tidak akan membawa mainan lagi ke sekolah”

“Ratih! Ini adalah kalkulatormu!” Kristian kembali merogoh tasnya dan mengeluarkan kalkulator digital. “Jangan menuduh saya pencuri karena kalkulator ini juga kutemukan di laci mejamu. Tepatnya Hari Senin setelah pelajaran matematika.Ternyata kamu selalu menggunakan kalkulator dalam mengerjakan soal matematika. Dan anehnya kamu juga tidak pernah merasa kehilangan.”

Wajah Ratih memerah. Dia tertunduk dan tidak berani lagi menatap ke depan.

“Maaf Bu Watik. Saya menemukan ini di bawah meja Ibu!” lanjut Kristian sambil menunjukkan wesel pos. “Disini tertulis honor menulis cerita anak sebesar seratus lima puluh ribu. Saya temukan tanggal sepuluh yang lalu.Dan ternyata Ibu juga tidak pernah merasa kehilangan uang sebesar ini.”

Gantian wajah Bu Watik yang memerah.

“Lalu uang sekolah Eliya bagaimana?” desak Pak Burham tidak sabar lagi.

“Uang Eliya di dalam komik ini! jawab Kristian sambil menunjukkan komik kesayangannya. “Kemarin Eliya pinjam komik saya dan pagi tadi baru dikembalikan. Jam istirahat tadi saya iseng-iseng membaca komik dan menemukan uang ini. Mungkin Eliya tergesa-gesa sehingga salah menyelipkan uang sekolah ini! Betulkan El?”

“Maaf, Kris! Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan. Tadi pagi aku memang tergesa-gesa. Aku teledor sekali!” jawab Eliya sambil mengulurkan tangannya.

“Aku juga minta maaf . Aku juga teledor” sesal Didin sungguh-sungguh.

“Ibu minta maaf ya, Kris.Ibu akan lebih hati-hati lagi,” janji Bu Wati.

Kristian tersenyum menatap teman-temannya. Dalam hatinya ada rasa haru dan bangga berbaur jadi satu.

Untuk kalian yang ingin membaca lebih banyak lagi cerita atau cerpen bobo, kalian bisa membaca kumpulan cerita bobo online di kidnesia.com.

Cerpen Bobo: Rahasia Sekeping Uang Logam

Ini untuk pertama kalinya aku berulang tahun di negeri orang. Tidak ada teman, saudara, atau tetangga sebelah rumah yang bisa kuajak merayakannya. Ah, tapi tak apa-apa. Aku masih punya Mama, Papa, dan ...

“Alia!” panggil Usagi, teman sebangkuku yang selalu menemaniku selama aku tinggal di jepang, “Hari ini kamu ulang tahun, kan? Selamat, ya! Semoga panjang umur,” Usagi mengulurkan tangan.

“Terima kasih,” aku membalas uluran tangannya.

Usagi merapatkan mantel putihnya, begitu juga aku. Musim salju mulai turun. Semua murid memakai mantel tebal. Aku dan Usagi menuju halte bus.

“Kok, kamu sepertinya tidak bahagia?” tanya Usagi lagi.

Aku mengedikkan bahu. Aku memang agak sedih karena tidak ada yang merayakan ulang tahunku. Tiba-tiba mataku tertuju pada kilauan benda kecil di depanku. Segera kuambil. Owww ... sekeping uang logam.

“Uang logam tahun berapa?” Usagi merebut logam itu dari tanganku. “Hebat!” teriaknya tiba-tiba, cukup mengagetkan. “Li, ini benar-benar hari keberuntungan buat kamu!” lanjutnya.

“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.

“Menurut orang jepang, kalau kita menemukan uang logam pada hari ulang tahun, dan tahun pembuatan uang logam tersebut sesuai dengan tahun kelahiran kita, maka tiga permintaan kita akan dikabulkan!” jelas Usagi panjang lebar.

Aku tersenyum, “Aku tidak percaya,” kataku.

“Kamu harus percaya. Tuhan sedang berbaik hati pada kamu!” Usagi mengembalikan uang logam itu. Kulihat tahun pembuatannya sama dengan tahun kelahiranku.

“Ayo Alia, sekarang kamu harus minta sesuatu!” Usagi terus memaksa. aku tidak percaya, tapi tidak apa-apalah.

“Kalau begitu aku akan minta kepada Tuhan, supaya hari ini ada matahari bersinar!” kataku akhirnya. Beberapa saat kemudian permintaanku itu benar-benar dikabulkan Tuhan.

“Lihat Alia!” teriakan Usagi, “Lihat! Matahri muncul di balik awan!”

Ah, aku hampir-hampir tidak percaya. Matahari muncul di langit sana, padahal sekarang musim salju!

“Betul, kan, apa yang kubilang. Tuhan sedang berbaik hati sama kamu. Sekarang, coba ajukan permintaan kedua! Ayo, Alia!” kata Usagi.

“Aku mau hadiah bunga sakura!” aku mengucapkan permintaan kedua.

Diiin! Diiin! Bus yang aku tunggu datang.

“Aku pulang dulu, ya! Nanti aku telepon!” kataku sebelum masuk bus. Usagi mengangguk, lalu melambaikan tangan.

Di dlam bus aku tersenyum sendiri. Apa benar yang dikatakan Usagi? Ah, aku yakin itu hanya kebetulan saja. mana mungkin uang logam bisa membawa keberuntungan? Aku tak yakin permintaan kedua terkabul.

“Stop!” teriakku sampai di depan rumahku.

“Cepat masuk Alia!” kata Mama begitu pintu dibuka. Sepertinya sebentar lagi akan ada badai salju.

Aku mencium tangan Mama lalu masuk ke kamar. Sekali lagi aku terkejut. Di kamarku sudah ada beberapa tangkai bunga sakura.

“Itu bunga dari Tante Irma. Tadi dia ke sini,” Mama menjelaskan.

Ya Tuhan ... Usagi benar! Aku menuju telepon dan memijit nomor telepon Usagi. Kebetulan ia sudah sampai di rumah. Aku ceritakan permintaan keduaku itu.

“Sekarang apa permintaan terakhir kamu?” tanya Usagi.

Aku garuk-garuk kepala, “Aku ... aku tidak tahu.”

“Begini saja, bagaimana kalau kamu minta pada tuhan agar hasil ulanganmu selalu yang terbaik!” usul Usagi beberapa saat kemudian.

“Ah, kamu ada-ada saja!” tolakku.

“Ini kesempatan baik Alia!”

“Tidak! Itu nanti akan membuatku malas belajar!”

“Tapi ...”

Sekitar seperempat jam aku berdebat dengan Usagi. Hingga akhirnya aku dan Usagi bertengkar. Usagi membanting telepon. Aku juga membanting telepon.

“Ada apa sih?” tanya Mama melihat kelakuanku. “Tidak baik membanting-banting telepon!”

“Habis Usagi duluan,” gerutuku.

“Memangnya ada apa?” tanya Mama lagi.

Aku menarik napas sejenak, lantas menceritakan semuanya. Tentang uang logam itu, tentang permintaan pertama dan keduaku yang dikabulkan, dan tentang permintaan terakhir yang membuatku membanting telepon.

“Kamu benar! Meskipun Tuhan sedang berbaik hati padamu, tapi sebaiknya jangan menuruti permintaan Usagi itu,” Mama mendukungku.

“Lalu aku minta apa?” tanyaku sebelum Mama meninggalkanku.

Mama menghentikan langkahnya, “Bagaimana kalau kamu minta sahabat saja? iya, seorang sahabat sejati!” katanya.

Sahabat? Ya! Kenapa tidak? Akhirnya aku minta pada Tuhan supaya diberi seorang sahabat sejati. Aku lalu masuk kamar, mengganti pakaian, lalu menuju meja makan. Aku barus saja menyiapkan piring ketika bel berbunyi. Kudengar Mama membuka pintu.

“Alia! Coba kamu lihat, siapa yang datang,” kata Mama.

Aku menoleh. Usagi?!

Usagi tersenyum, mendekati tempat dudukku dan mengulurkan tangan, “Maafkan aku, ya! Aku ...”

Aku menggeleng-geleng. Aku tidak mau mendengar kelanjutkan perkataan Usagi. Aku yakin Usagi menyesali perbuatannya karena dia seorang sahabat sejati yang dikirimkan Tuhan untukku. Seperti permintaan terakhirku!

Untuk kalian yang ingin membaca lebih banyak lagi cerita atau cerpen bobo, kalian bisa membaca kumpulan cerita bobo online di kidnesia.com.

Cinta Sepotong Mimpi

Cerita Cinta - Cinta Sepotong Mimpi
Dapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.

Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.

Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.

“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.

Rabu, 19 Januari 2011

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

“Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan. …”

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.
Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.

Kado Terbuka untuk Isteriku

Setahun sudah berlalu saat masa lajangku berakhir di depan penghulu, pernikahan yang di tunggu pun alhamdulillah berjalan dengan lancar. Saat ini di tengah-tengah kami telah hadir seorang Anak perempuan, aku sangat bersyukur Allah telah memberikan kepercayaan untuk menitipkan keturunan yang menjadi dambaan setiap pasangan suami isteri. Entah itu pasangan baru atau pun lama, keturunan (baca: anak) teuntunya menjadi satu hal yang sangat diinginkan.

Aku patut bersyukur akan kehadiran anak kami, sebab tidak sedikit pasangan suami isteri yang menikah harus menunggu sampai bertahun-tahun, atau bahkan sama sekali tidak dikarunia keturuanan. Kehadiran si buah hati, membawa nuansa tersendiri dalam kehidupan ini. Kehadirannya bisa menghilangkan rasa lelah saat baru pulang dari aktifitas. Seakan mempunyai kekuatan magnetis, kehadirannya senantiasa membuat hati selalu ingat saat jauh darinya, bahkan senantiasa terbayang dalam mata wajahnya yang masih merah.

Indahnya Memaafkan

Di masjid sebelah kantor, aku menyimak dengan seksama seorang khotib berceramah tentang kesabaran seorang Nabi Ayyub 'alaihissalam.

Fragmen kehidupan yang mengajarkan bagaimana menyikapi suatu ujian tanpa harus berteriak lantang "Engkau begitu kejam Tuhan, mengapa?"

Karena kesemuanya, didasari kesadaran dan ketundukan, yang membuat kata kesabaran tiada memiliki garis batas hingga "Sang Pembuat Mekanisme Ujian" memisahkan antara ruh dan jasad makhluk-Nya

Jum'at, pukul 12. 15:

Di tengah sholat jum'at, ditingkah suara syahdu imam sholat membacakan beberapa ayat al-qur'an, tiba -tiba cairan hangat memenuhi kelopak mata, entah mengapa.....

Jum'at, pukul 14. 00:

" Mas, minta tolong spanduknya diambilkan jam setengah tiga ya, karena saya sudah balik ke lamongan. Kemarin janji pembuatnya harusnya spanduk itu selesai sebelum jum'at, tolong ya... " nyaring terdengar suara salah seorang temanku dalam suatu kepanitiaan di ujung telepon

"Ok, Insya Alloh, nanti sepulang kerja saya ambil......" jawabku

Jum'at, pukul 15. 00:

"Maaf Mas, spanduknya belum jadi, nanti ya jam setengah lima, ini lagi banyak pesenan juga mas, gimana?" kata seorang wanita umur tiga puluhan, isteri sang pembuat spanduk

Ini sudah yang kesekian kali pemesanan spanduk, di tempat yang sama, tidak tepat waktu. Aku mengatur nafasku, mencoba untuk tidak marah, betapa pun rencananya sesegera mungkin aku berangkat naik bus ke lamongan.

"Ok mbak, saya tunggu sampai jam setengah lima, tapi tolong diantar ke kantor saya di alamat ini " pintaku sembari menyodorkan selembar kertas yang berisi alamat kantorku

" Aku maafkan Ya Robb, sekalipun entah ini yang keberapa kali orang itu tidak menepati janjinya " gumamku mencoba mengalihkan amarahku dengan doa-doa lirihku dalam perjalanan kembali ke kantor

Jum'at, Pukul 17. 00:

Hujan deras mengguyur kota surabaya, aku panik, hingga tiba-tiba HP ku berdering.

" Maaf mas, ini masih dalam perjalan, di sini hujan lebat, tungguin ya......" suara memelas isteri pembuat spanduk mengabarkan keterlambatan-untuk yang kesekian kalinya-mengantarkan spanduk

"Ok, gak papa mbak, saya tunggu...." jawabku mulai merasa iba

Jum'at, setelah sholat maghrib:

Hujan masih begitu deras, memandikan bumi, aku semakin panik, bukan saja karena spanduk yang belum datang, tetapi karena jam segitu angkutan menuju ke terminal Oso Wilangun sudah tidak ada lagi, padahal malam itu aku harus tiba di lamongan untuk menyiapkan talkshow esok hari

Aku membuka mushaf-ku, membaca beberapa ayat suci al-qur'an untuk mengusir kepanikanku, bismillah......

" Ya ALLAH, andaikan aku tadi ikhlas memaafkan kesalahan si pembuat spanduk, maka tolonglah hamba-Mu ini dengan meredakan hujan saat ini juga dan mudahkanlah aku untuk berangkat ke Lamongan... " kembali do'a aku bumbungkan ke udara yang semakin dingin.

Ajaib, subhanallah...

Hujan seketika itu, reda. Sejenak kemudian sang pembuat spanduk datang, dan sembari memohon maaf, ia menyodorkan spanduk pesanan kami

"Segala puji syukur bagi-Mu Ya Rabb, Tuhan sekalian alam... "

Fffiiuh...pantas ada sahabat di zaman Rasulullah SAW yang disebut oleh beliau sebagai ahli surga sampai tiga kali, ternyata amalannya "hanyalah" setiap malam menjelang tidur ia memaafkan dosa-dosa orang yang mendzoliminya seharian itu

"Astaghfirullah... " kalimat pendek yang menemani perjalanan malam itu ke kampung halamanku......

Source:
http://www.eramuslim.com/oase-iman/indahnya-memaafkan.htm

Download Cerita Pendek Indahnya Memaafkan.

Kumpulan Cerita Cinta: Salam Berbuah Cinta

Diro, sebut saja begitu nama lelaki bujangan asli Jawa ini. Diro dikenal sebagai lelaki yang sopan, hanif, dan punya ciri khas, yakni senang mengucapkan salam “Assalaamu’alaikum” kepada siapa pun -muslim- yang dijumpainya di manapun.

Suatu ketika, Diro ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu dua tahun. Setibanya di kota X itu, lelaki bujangan ini langsung mencari tempat kos/kontrakan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah tiga hari di kota tersebut, Diro baru menyadari bahwa ada gadis cantik dan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Seperti biasa, tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Diro pun mengucapkan salam kepada gadis itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepi jalan.

Tak Cukup Hanya Cinta

"Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?", sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”